Ilustrasi Seragam Sekolah
Siak, – Program seragam sekolah gratis yang dijanjikan oleh salah satu pasangan Calon Kepala Daerah (Cakada) di Kabupaten Siak menjadi perbincangan dan isu hangat dari berbagai pihak yang mempertanyakan realisasi dan keberlanjutan program tersebut.
Beberapa pihak menilai janji ini sekadar manuver politik untuk meraih simpati, tanpa memperhitungkan implikasi anggaran dan dampaknya terhadap sektor lain dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Siak.
Ridha Alwis Effendi, anggota DPRD Siak dari Partai Amanat Nasional (PAN), menyatakan bahwa program ini membutuhkan alokasi dana yang sangat besar, yaitu sekitar Rp90 miliar lebih per tahunnya.
“Dana sebesar itu tidak kecil, apalagi jika diambil dari APBD yang sudah teralokasi untuk kebutuhan sektor lain. Memasukkan anggaran sebesar itu untuk seragam gratis akan mengorbankan sektor lain,” ujar Alwis Kamis (14/11).
Alwis menilai program ini hanya sebagai janji manis yang sulit diwujudkan dan tidak memiliki perhitungan matang.
Menurut anggota DPRD Siak dari Dapil tiga itu, realisasi program seragam gratis bagi pelajar SD dan SMP di Kabupaten Siak tidak hanya menambah beban anggaran tetapi juga mengancam proporsi anggaran sektor penting lainnya.
“Saat ini, sektor pendidikan sudah menerima 27 persen dari APBD Siak. Jika ditambah beban sebesar itu, mau tak mau, sektor lain tentu harus dikorbankan,” tegasnya.
Alwis juga bilang, janji politik seperti ini bisa membebani anggaran pendidikan, yang pada akhirnya malah berpotensi mengurangi efektivitas sektor pendidikan itu sendiri.
Analisis data yang dikemukakan Alwis menunjukkan total siswa SD dan SMP di Siak mencapai 90.143 orang. Jika masing-masing siswa dialokasikan Rp1 juta untuk seragam gratis, total anggaran yang harus disediakan mencapai Rp90,1 miliar per tahun.
“Artinya, dalam lima tahun, akan ada pengeluaran lebih dari Rp400 miliar. Angka ini tidak main-main, dan seharusnya dikaji ulang agar tidak menjadi beban dan tidak memberikan harapan palsu di tengah masyarakat semasa pilkada,” jelasnya.
Sejumlah pengamat menilai bahwa program seperti ini seharusnya dirancang dengan perhitungan matang dan disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah.
“Janji politik sering kali terlihat menarik, tetapi tanpa perencanaan yang realistis, akhirnya hanya sekadar menjadi janji kosong,” ujar salah satu pengamat politik di Siak yang tidak ingin disebutkan namanya.
Alwis menambahkan, jika janji ini dipaksakan, maka masyarakat harus bersiap menghadapi pengalihan anggaran dari sektor-sektor lain yang sama pentingnya.
“Jika dana pendidikan ditingkatkan hanya demi janji politik ini, maka dana untuk kesehatan, infrastruktur, atau sektor lain kemungkinan besar akan berkurang. Ini bukanlah langkah yang bijak, karena pembangunan seharusnya berimbang,” pungkasnya dengan tegas.