Tia Monica Sihotang adalah corporate counsel di perusahaan swasta.
JAKARTA.- Perusahaan berdalih menggunakan Pasal 81 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bahwa cuti haid diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pekerja perempuan kerap dipersulit mendapatkan hak dasarnya.
Persoalan kesetaraan gender memang masih belum kelihatan jelas ujung muaranya. Perempuan dalam sektor profesional masih jauh dari kata sejahtera. Kesempatan perempuan mendapatkan kesempatan kerja memang sudah lebih baik, namun hak-hak dasar pekerja perempuan masih belum seutuhnya diterima.
Tidak disangkal bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai keadaan biologis yang berbeda. Perempuan secara bawaan umumnya mengalami menstruasi setiap bulan. Menstruasi pada perempuan datang dengan gejala yang tidak mengenakkan seperti payudara nyeri dan kencang, kram perut, sembelit atau diare, perut kembung, sakit kepala, badan serta suasana hati yang sensitif, dan masih banyak lainnya.
Gejala serta intensitas yang dirasakan perempuan ketika menstruasi berbeda-beda. Beberapa perempuan tidak mengalami rasa sakit, ada yang hanya merasa sakit sedikit, ada pula yang mengalami gejala parah sampai pingsan. Tentu gejala dan rasa sakit yang dihadapi perempuan mengganggu sebagian besar aktivitasnya termasuk bekerja. Hal ini diketahui dan dihormati oleh negara, terbukti dengan diberikannya fasilitas aturan cuti haid bagi pekerja perempuan.
Aturan mengenai cuti haid tercantum dalam Pasal 81 ayat (1) UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), “Pekerja/buruh perempuan yang dalam masa haid merasakan sakit dan memberitahukan kepada pengusaha, tidak wajib bekerja pada hari pertama dan kedua pada waktu haid.”
Lebih dari dua puluh tahun aturan cuti haid berlaku, ironis bahwa sampai sekarang persoalan haid masih tabu di sebagian besar lingkup profesional.
Eksistensi dari pada cuti haid masih menjadi pertanyaan besar. Penulis meyakini sebagian besar pekerja perempuan bahkan tidak mengetahui adanya hak inklusif yang diberikan negara ini.
Padahal, cuti haid adalah bentuk pemenuhan hak-hak perempuan. Cuti haid dipandang sebagai isu yang kurang penting oleh serikat pekerja sehingga menjadi salah satu faktor kurang tersiarnya hak ini.
Pemenuhan cuti haid sebagai hak dasar pekerja perempuan bukan topik utama advokasi serikat pekerja. Cuti haid dinilai tidak sejajar dengan isu-isu yang menjadi tuntutan utama serikat pekerja seperti upah rendah, ancaman PHK, kenaikan pajak, masuknya tenaga kerja asing, besaran jumlah pensiun, dan lainnya.
Minimnya perhatian terhadap isu cuti haid merembet pada kurangnya sosialisasi cuti haid pekerja perempuan yang seharusnya dilakukan tim SDM perusahaan. Inilah sebabnya pekerja perempuan semakin tidak tahu terhadap haknya. Masalah lain, para pekerja perempuan sudah mengetahui hak ini tapi enggan menggunakannya. Salah satu sebabnya adalah perusahaan sering menetapkan syarat pembuktian melalui surat keterangan dokter sebagai prosedur klaim cuti haid.
Perusahaan berdalih menggunakan Pasal 81 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bahwa cuti haid diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pekerja perempuan kerap dipersulit mendapatkan hak dasarnya.
Perusahaan berdalih menggunakan Pasal 81 ayat (2) UU Ketenagakerjaan bahwa cuti haid diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama. Pasal ini digunakan perusahaan sebagai celah untuk mengatur syarat-syarat tertentu kepada pekerja perempuan dalam mendapatkan hak dasarnya. Persyaratan yang terkesan ribet membuat sebagian perempuan malas mengurus administrasi.
Pemberlakuan cuti haid dengan ketentuan dan syarat menjadi cermin ketidakpercayaan pengusaha terhadap kejujuran pekerja perempuan. Pertimbangan pengusaha atas potensi untung-rugi yang timbul dari absennya pekerja jadi batas yang harus ditembus. Kebijakan perusahaan dibuat hanya dengan kacamata bisnis alih-alih keberpihakan pada hak kesehatan perempuan.
Syarat klaim cuti haid tentu jadi beban padahal rasa sakit haid adalah hal normal. Pekerja perempuan justru dituntut setiap bulan berkunjung ke dokter semata untuk mendapatkan surat bukti rasa sakit haid untuk kepentingan birokrasi perusahaan. Peraturan seperti ini membuat banyak perempuan berpikir berulang kali dan berujung tidak menggunakan hak cuti haid.
Perusahaan yang mesyaratkan surat keterangan dokter seakan menghadapkan perempuan pada dua pilihan sulit. Mereka harus pergi ke tempat kerja dan melakukan pekerjaan sambil menahan sakit atau pergi ke dokter untuk mengantre lama sambil juga menahan sakit.
Bekerja dan cuti haid sama-sama hak perempuan. Lagi-lagi, perempuan dipaksa memilih salah satunya. Pemberian hak cuti haid dengan ketentuan yang membebankan perempuan tidak seharusnya jadi norma perusahaan.
Beban berlapis yang dihadapi perempuan tidak cukup sampai di situ. Perempuan masih harus melawan rasa sungkan yang tidak terhindarkan ketika mereka harus memohon izin kepada tim SDM. Pekerja perempuan juga jadi khawatir bila absen berulang—yang sebenarnya adalah hak dasar mereka—akan berdampak pada penilaian kinerja mereka. Belum lagi perempuan masih harus melawan stigma lemah.
Ironisnya, stigma ini tidak hanya datang dari laki-laki namun juga sesama perempuan. Perempuan yang tidak merasakan sakit cenderung merasa superior karena merasa lebih kuat dan tidak merugikan perusahaan.
Tantangan perempuan dalam memperjuangkan haknya masih berlapis.
Negara telah memberikan hak cuti haid sebagai bentuk pengakuan akan keadaan perempuan berhadapan dengan sakit haid. Namun, eksistensi serta penggunaannya masih jadi pertanyaan besar. Persyaratan surat keterangan dokter yang menjadi penghalang, minimnya sosialisasi dan perhatian serikat pekerja, sampai stigma negatif perempuan, semuanya jadi hambatan pemenuhan hak dasar yang inklusif dan adil.
Pemerintah perlu terlibat dalam pembentukan peraturan tanpa penghambat –berupa tuntutan surat keterangan dokter—yang hanya menambah beban pekerja perempuan. Selain itu, perlu kerja sama seluruh lapisan masyarakat untuk mendobrak stigma. Cuti haid harus diterima sebagai kenormalan yang tidak merugikan pengusaha, apalagi itu memang hak dasar bagi perempuan.